Apasih Adil, Apasih Ihsan, Mana yang lebih utama manakah Adil atau Ihsan?

   Apa Adil itu?

Khutbah Jum`at seringkali ditutup dengan ayat Al-Quran  berikut:  Innallaha  ya`muru  bil-`adli   wal-ihsan,
…", artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan), …" (Qs. An- Nahl/16: 90).

Tradisi menutup Khutbah Jum`at dengan ayat suci tersebut dimulai oleh Khalifah Bani Umaiyah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz. Sebelumnya Khutbah Jum`at selalu ditutup dengan kata-kata kutukan  terhadap Ali bin Abi Thalib k.w. dan para pembelanya sebagai lawan politik Bani Umaiyah. Khalifah saleh inilah yang membuang kata-kata kutukan itu dan menggantikannya dengan ayat suci Al-Quran surat An- Nahl ayat 90 tersebut. (Semoga Allah ridha kepada Umar bin Abdul Aziz).

Adil dan Ihsan

Dua istilah ini (adil dan ihsan) mendominasi kajian teologi dan ilmu kalam dibanding istilah-istilah lain yang memiliki makna hampir serupa. Apa bedanya adil dengan ihsan? Juga apa bedanya dengan al-jud, itsar, dan inshaf? Perbuatan mana yang lebih utama, berlaku adil atau berbuat ihsan?

Dalam Bahasa Arab dan Al-Quran ada  beberapa kata yang bermakna berbuat kebaikan, yakni: al-jud, itsar, inshaf, dan ihsan. Al-Jud adalah berbuat baik dalam wujud material, seperti mentraktir kawan-kawan. Itsar adalah mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri, hampir serupa dengan makna altruisme dalam etika Barat, seperti memberi minum orang yang kehausan padahal dirinya pun sedang haus. Dalam sejarah Islam, kesediaan Ali bin Abi Thalib k.w.   untuk menempati tempat tidur Nabi ketika Nabi Saw dalam ancaman pembunuhan kafir-kafir Quraisy menjelang keberangkatan berhijrah ke Madinah  merupakan contoh itsar yang paling populer.

Inshaf adalah pengakuan salah, khilaf, atau keliru dari orang yang memiliki otoritas atau senior yang mungkin saja dapat menurunkan kewibawaannya; padahal tanpa pengakuan demikian pun orang-orang tidak akan mengetahui kesalahan, kekhilafan atau kekeliruannya. Misalnya, seorang dokter spesialis yang senior memberikan resep tertentu kepada pasiennya. Karena belum sembuh, pasien itu datang lagi ke dokter yang bersangkutan. Kebetulan sang dokter senior tidak ada. Karena ingin segera berobat pasien itu mendatangi dokter lain yang kebetulan masih yunior. Sang dokter muda memberitahukan bahwa obat yang sudah dimakannya kurang tepat. Ia pun kemudian  memberikan resep yang berbeda dengan yang diberikan dokter senior. Selang beberapa hari kemudian pasien mendatangi dokter senior dan memberitahukan apa yang dilakukan dokter yunior. Sang dokter spesialis senior kemudian menganalisis resep yang diberikannya dan diberikan dokter muda. Dalam hatinya ia membenarkan bahwa resep dari dokter muda itulah yang tepat. Jika ia berakhlak baik, maka ia akan mengakui kekhilafannya dan meminta maaf kepada pasiennya karena telah memberikan resep yang keliru. Inilah tindakan inshaf.

Adapun ihsan adalah berbuat baik yang lebih umum, bisa berbentuk material maupun non-material, misalnya: memberi bantuan beasiswa kepada santri potensial, mengajar baca-tulis Al-Quran kepada kaum muslimin yang belum bisa membaca dan menulis Al- Quran, . Al-jud dan itsar sebenarnya merupakan bagian dari ihsan; sementara inshaf  sejenis ihsan.


Adil = memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya

Ihsan = memberikan hak kita kepada orang lain


Contoh adil:
Kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib k.w.sangat terkenal. Kata beliau, adil adalah "Wad`u syai-in fi mahalihi" (menempatkan sesuatu pada tempatnya); sedangkan ihsan (termasuk al-Jud dan itsar) adalah "mengeluarkan sesuatu dari tempatnya".

Atau, dengan kata lain, adil adalah "memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya" sedangkan ihsan adalah "memberikan hak kita kepada orang lain (yang tidak mempunyai hak)".

Contoh perbuatan adil: Kita mendapat amanah untuk membagikan sejumlah uang (misalnya, Rp. 100 juta) kepada seluruh orang miskin di suatu desa.  Artinya, uang itu bukan milik kita, melainkan milik seluruh orang-orang miskin di suatu desa. Ketika kita membagikan uang yang Rp. 100 juta itu kepada orang- orang yang berhak menerimanya (yaitu seluruh orang miskin di suatu desa itu), berarti kita telah berbuat adil.

Sebaliknya, bila uang itu kita tahan-tahan, atau uang itu kita bagikan sebagian dan yang sebagiannya kita tahan, berarti kita telah berbuat zalim – karena kita menahan harta yang menjadi milik orang lain. Demikian juga jika kita membagikan uang yang Rp. 100 juta itu, tapi bukan kepada orang-orang miskin, itu pun merupakan perbuatan zalim; karena yang berhak atas sejumlah uang itu adalah seluruh orang-orang miskin di suatu desa itu.

Jadi, berbuat adil itu suatu kewajiban (sebagai misi agama Islam), karena jika tidak melakukan keadilan berarti berbuat zalim, yang justru merusak misi Islam


Contoh ihsan :
Adapun berbuat kebajikan (al-Jud, itsar, ihsan) tidak memiliki kebalikannya. Kalaupun dipaksanakan dibuat kebalikannya, satu-satunya kata yang tepat dari kebalikan berbuat kebajikan adalah "tidak" berbuat kebajikan.    Tapi    tidak    berbuat    kebajikan     tidak mengandung konotasi negatif seperti dalam kata zalim. Oleh karena itulah pelaku kebajikan mendapat kedudukan terhormat, karena ia mengerjakan suatu kebajikan yang tidak diwajibkannya.

Contoh berbuat kebajikan, seorang yang berkecukupan telah membayar zakat dan segala kewajiban agama. Artinya, orang itu telah memenuhi kewajiban-kewajiban agama. Ia mempunyai sejumlah uang tabungan, misalnya Rp. 10 juta. Sebagian uang itu, misalnya Rp. 5 juta, akan diinfaqkan sebagai beasiswa. Kepada siapa beasiswa itu akan diberikan, apakah kepada siswa SMP yang miskin, kepada siswa  SMA yang berprestasi, atau kepada dosen yang sedang studi di S3, hal itu terserah dia. Dia bebas memberikannya kepada siapa saja. Malah jika tidak  menginfaqkannya pun tidaklah berdosa, karena ia telah membayar zakat dan seluruh kewajiban agama. Hanya saja, jika ia melakukannya (misal: memberi beasiswa, atau apa pun bentuknya) berarti ia telah berbuat ihsan (kebajikan) yang tentunya mendapat pahala besar dari Allah SWT. Tapi, kalau ia tidak melakukannya, maka ia tidak berdosa dan tidak pula memperoleh pahala.



Mana yang lebih utama: Adil atau Ihsan?

Pertanyaan kedua yang harus dijawab adalah, manakah di antara kedua perbuatan tersebut yang lebih utama, berlaku adil atau berbuat kebajikan?

Jawabnya, tergantung dari perspektif mana perbuatan itu dilakukan.

Dari perspektif pribadi, tentu berbuat kebajikan (ihsan) merupakan perbuatan utama. Tapi dari persepektif sosial, berlaku adil adalah perbuatan yang utama, karena kalau tidak melakukannya berarti berbuat zalim. Artinya, bagi individu-individu kaum muslimin adalah sangat utama jika ia melakukan kebajikan. Tapi bagi   seorang   pemimpin   atau   orang   yang  diserahi

amanah, maka berbuat adil bukan saja merupakan perbuatan utama melainkan justru merupakan kewajibannya. Para pemimpin dan orang yang diserahi amanah mengurusi masyarakat wajib berbuat adil dan menegakkan keadilan.

Contoh: seorang Kepala Dinas Sosial di suatu kabupaten/kota akan membagikan RASKIN (beras  bagi orang miskin). Ia berlaku adil jika ia membagikan RASKIN itu kepada seluruh orang miskin secara merata di kabupaten/kota yang dipimpinnya. Bila RASKIN-nya terbatas, ia terlebih dahulu membuat beberapa peringkat miskin; dan peringkat miskin yang paling bawah itulah yang diprioritaskan. Tapi ia berlaku zalim jika RASKIN itu hanya dibagikan di desa/kecamatan tempat ia tinggal, atau tidak diberikan kepada fakir-miskin, atau hanya sebagiannya saja yang dibagikan sedangkan selebihnya ia ambil.

Ia – di hadapan Allah SWT – tidak punya dalih, misalnya sebagian RASKIN itu (katakanlah 10% atau 5%) sebagai upah bagi dirinya, karena ia diangkat pada posisi itu sudah mendapatkan gaji yang setimpal. Tentu, kalau ukurannya cukup sampai berapa pun tidak akan cukup, karena sangat condongnya manusia terhadap harta; dan harta itu – berapa pun banyaknya – tidak akan kenyang-kenyang. Dalam Al-Quran disebutkan:

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya; dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya; dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena    cintanya    kepada    harta.    (Qs.    Al-
`Adiyat/100: 6-8)
*                  Bermegah-megahan telah melalaikan kamu; sampai kamu masuk ke dalam kubur. (Qs. At- Takatsur/102: 1-2)


Pertanyaannya sekarang, bisakah Kepala Dinas Sosial itu tidak melaksanakan keadilan, melainkan berbuat ihsan, misalnya membagikan uang RASKIN itu kepada karib-kerabat dan kolega-koleganya? Atau, 2/3- nya kepada fakir-miskin dan 1/3-nya kepada karib- kerabat dan kolega-koleganya? Atau, 1/3-nya kepada fakir-miskin di seluruh kota/kabupaten, 1/3-nya lagi kepada fakir-miskin di desa/kecamatan tempat  ia tinggal (sehingga ia akan sangat populer di desa/kecamatan tempat tinggalnya), dan 1/3-nya lagi untuk karib-kerabat dan kolega-koleganya (sehingga ia sangat dicintai karib-kerabat dan kolega-koleganya)?

Dalam pandangan Islam tidak bisa, karena ia bukan seorang individu biasa atau seorang pejabat di tengah-tengah karib-kerabat dan kolega-koleganya, dan bukan pula seorang pejabat di suatu desa/kecamatan, melainkan ia seorang pejabat di suatu kota/kabupaten. Dengan melakukan hal demikian berarti ia zalim.

Seorang Kepala Dinas Sosial tersebut bisa disebut berbuat kebajikan jika ia menggunakan uang pribadinya – seluruhnya atau sebagian – kepada karib- kerabat atau kolega-koleganya. Dalam kondisi  demikian, ia tidak harus berbuat adil, karena di sini bukan wilayah keadilan. Ia boleh memberikan uang pribadinya itu kepada siapa saja dari kalangan karib- kerabat atau kolega-koleganya. Dan dalam konteks pribadi ini, dia telah berbuat kebajikan.

Sebenarnya Kamu Tahu Nggak Sih Apa Itu TAUHID ?

Apa Tauhid itu?

Tauhid (meng-Esa-kan Allah) merupakan akumulasi kesadaran akan fakta bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Semua kita – bahkan juga alam semesta – bergerak menuju kesempurnaan sesuai dengan "kodratnya" masing- masing.

(Hati-hati! Makna "sempurna" untuk makhluk sebenarnya tidak sempurna, karena  kesempurnaannya itu dibatasi oleh "kodrat"-nya. Jika terbatas artinya tidak sempurna, karena kesempurnaan-sejati tidak menghendaki adanya batasan-batasan).

Karakter ketergantungan keberadaan alam semesta menunjukkan intensitas keterarahannya kepada satu tujuan yang sama. Semuanya terarah menuju kesempurnaannya untuk menghampiri yang Maha Sempurna, Allah SWT.

Kesempurnaan pepohonan adalah tumbuh- berkembang menjadi pepohonan yang sempurna sesuai dengan jenis dan kodratnya. Kesempurnaan padi adalah tumbuh-berkembang menjadi tangkai padi yang keras, bercabang banyak, dan menghasilkan butir-butir padi yang banyak, padat, besar-besar, enak rasanya, dan harum baunya. Kesempurnaan pohon jati adalah tumbuh-berkembang menjadi pohon jati yang tegak lurus, besar dan keras, menghasilkan bibit pohon jati unggulan, dan kemudian menjadi bahan bangunan  yang kokoh atau menjadi kursi, lemari, dan tempat tidur yang nyaman dan indah dipandang mata. Dan sebagainya.

Kesempurnaan binatang adalah tumbuh dan berkembang-biak menjadi binatang yang sempurna sesuai dengan jenis dan kodratnya. Kesempurnaan ayam adalah tumbuh menjadi ayam dewasa yang sehat,  gemuk, dan menghasilkan daging ayam yang tebal, renyah dan gurih, atau menghasilkan telor yang banyak dan bagus-bagus. Kesempurnaan sapi adalah tumbuh menjadi sapi dewasa yang sehat dan gemuk serta  menjadi makanan yang lezat, atau menghasilkan susu yang kental dan banyak, juga berkembang-biak melahirkan anak-anak sapi unggulan Dan sebagainya.


Tapi kesempurnaan manusia berbeda dengan pepohonan dan binatang. Kesempurnaan manusia tidak berhenti pada tumbuh berkembang menjadi besar dan dewasa serta melahirkan generasi baru anak-anak manusia yang sehat dan kuat, melainkan lebih dari itu.

Manusia bukan sekedar makhluk jasmaniah, melainkan sekaligus sebagai makhluk ruhaniah. Malah, substansi manusia justru ruhani-nya.

Dimensi jasmaniah manusia – dalam hal tumbuh dan berkembang – sama saja dengan binatang dan pepohonan. Malah, dalam hal-hal tertentu bisa lebih rendah. Bayi manusia lahir dalam keadaan sangat lemah, yang untuk dapat tumbuh dan berkembangnya memerlukan perawatan yang ketat dan penuh hati-hati. Berbeda dengan bayi hewan dan bibit tetumbuhan yang dapat tumbuh dan berkembang dengan perawatan alakadarnya sekalipun. Malah tanpa perawatan manusia pun, beberapa jenis binatang dan pepohonan bisa tumbuh dan berkembang secara sempurna.

Untuk mencapai kesempurnaannya, manusia harus mengembangkan dimensi ruhaniahnya setinggi- tingginya mendekati Allah Yang Maha Tinggi. Di sinilah justru esensi tauhid.

Tauhid bukanlah sekedar sebuah pengakuan akan ke-Esa-an Allah. Bila sebuah pengakuan saja, maka iblis la`natullah juga (semoga la`nat Allah menimpa dirinya) adalah bertauhid. Malah iblis juga berdo`a kepada Allah meminta umur panjang, sebagaimana dalam Al-Quran surat Al-A`raf ayat 12-15 berikut:

Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya; maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina."
Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan. Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."

“Tauhid bukanlah sekedar sebuah pengakuan akan ke-Esa-an Allah.
Bila sebuah pengakuan saja, maka iblis bertauhid, karena iblis meyakini Allah sebagai Tuhannya”

Dalam empat ayat di atas, iblis menyebut Allah sebagai Pencipta dirinya dan Pencipta Adam. Karena diusir dari surga, iblis pun memohon kepada Allah  untuk diberi umur panjang agar dapat menjerumuskan manusia dari jalan yang benar, dan Allah pun mengabulkan permohonannya sehingga iblis sampai sekarang masih hidup dan selalu menyesatkan manusia.

Oleh karena itu, sekali lagi, tauhid bukanlah sekedar pengakuan akan ke-Esa-an Allah, bukan sekedar mengakui Allah sebagai Sang Pencipta (saja). Bertauhid memerlukan pengetahuan yang luas dan  mendalam tentang ke-Esa-an Allah (artinya harus terus-terusan belajar tentang tauhid), sikap tunduk dan patuh di hadapan Allah, dan mengembangkan ruhani setinggi-tingginya untuk menyatu dengan Allah, disertai penolakan dan kebencian terhadap segala bentuk syirik, kufur, dan nifaq.

Singkatnya, menurut Sayyid Quthub, keimanan bukanlah sesuatu yang terpenjara dalam hati atau tersimpan di peti intelektualisme. Iman tidak cukup dengan sekedar tashdiq (pengakuan dalam hati) dan iqrar (pengakuan dalam bentuk ucapan), atau sekedar ma`rifat. Iman mesti disertai dengan amal perbuatan. Meskipun beribu-ribu kali seseorang  mengatakan  dirinya mu`min, namun jika pengakuannya tidak disertai dengan amal, maka dia bukanlah seorang mu`min. (Afif Muhammad, 2004, hal. 137-138).


“Iman mesti disertai dengan amal perbuatan (Sayyid Quthub)”

Bagaimana Cara Nabi Muhammad SAW mengajak Kaumnya Untuk Menyembah ALLAH ?

Alkisah, ketika seorang pejabat pemerintah meninggal dunia berbagai komentar positif datang dari kolega dan kerabatnya. Ia seorang yang bijak, katanya. Ia tidak pernah berselisih dengan siapa pun. Di mata bawahan ia figur pejabat  yang suka bagi-bagi rezeki. Di mata tetangganya ia seorang yang rajin datang ke masjid dan  senang berinfaq.

Ia pun membangun masjid yang besar dan indah. Begitu semangatnya membaik-baikkan  almarhum, sampai-sampai seorang pembicara – yang tidak lain kerabatnya – mengatakan sesuatu yang sangat mengagetkan: "Almarhum ini orang yang sangat baik dan sangat bijak. Seandainya Allah SWT mendatangkan lagi seorang Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, maka pasti almarhum inilah Nabi yang ke-26 itu!" Sebagian hadirin tampak mengangguk-anggukan kepalanya (mungkin tanda setuju) dan sebagiannya lagi tampak terperanjat dan memalingkan muka ke kiri dan kanan (mungkin tanda tidak setuju).

Di sini kita tidak akan berkomentar banyak terhadap pidato orang yang tidak mengerti Nabi Islam. Kita pun tidak mempertanyakan dari mana harta yang banyak itu ia peroleh. Di antara pertanyaan kita adalah, di manakah kedudukan khulafaur-rasyidin? Di manakah kedudukan para Wali Allah? Bagaimanakah pula kedudukan Ali bin Abi Thalib k.w. yang merupakan pintu gerbang ilmunya Nabi? Bagaimanakah pula  dengan sabda Nabi Saw yang menyebutkan bahwa kedudukan Ali di sisiku bagaikan Harun di sisi Musa  tapi tidak ada Nabi lagi sesudahku? Apakah jumlah Nabi itu hanya 25 orang, dan yang ke-26 – seandainya ada lagi Nabi – adalah adalah almarhum yang disebutkan itu?

Ungkapan senada sering kita dengar dari orang- orang yang tidak mengerti Nabi. Orang yang menganggap Nabi itu selalu lemah lembut kepada siapa pun dan tidak pernah punya musuh, maka orang itu  akan mengidolakan orang yang selalu lemah lembut kepada siapa pun dan tidak pernah punya musuh; orang yang menganggap Nabi itu pandai berceramah, menentramkan, dan tidak pernah menyinggung orang, maka orang itu akan mengidolakan orang yang pandai berceramah, menentramkan, dan tidak pernah menyinggung orang; dan seterusnya. Di sinilah perlunya kita mempelajari sejarah Nabi Muhammad Saw.

Untuk lebih menegaskan bahwa misi Islam itu tauhid dan keadilan, kita perlu merekam sosok pribadi agung teladan umat, Nabi Muhammad Saw. Misi Islam dan tujuan utama agama Islam dapat dipahami secara lebih mudah dengan mempelajari sosok pribadi agung ini, Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran menegaskan:

·        Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan ia banyak menyebut Allah. (Qs. 33/Al-Ahzab: 21)

·        Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Qs. Al-Qalam: 4)

Kedua ayat di atas menegaskan bahwa puncak teladan Islam berada pada pribadi Rasulullah, Muhammad Saw. Dialah puncak teladan dalam dzikir dan shalat, dalam shaum, dalam zakat-infaq dan shodaqoh, dalam hajji dan `umroh, dalam berda`wah, membelajarkan umat, menyantuni anak-anak yatim, mensejahterakan fakir-miskin, dan amar ma`ruf nahi munkar, hingga dalam jihad dan memimpin umat. Dialah puncak teladan dalam segala hal.

Artinya, jika kita ingin memahami misi dan tujuan utama Islam, maka lihatlah bagaimana pribadi agung ini mengamalkan Islam.

Lebih jauhnya, jika kita telusuri sejarah  kehidupan Muhammad Rasulullah, maka kehidupannya dipenuhi dengan akhlak mulia yang sangat tinggi.

Jauh sebelum     mengemban        tugas kenabian, Muhammad Rasulullah dikenal sebagai  penyembah Allah Yang Maha Esa, pejuang keadilan (beliau bergabung dengan Hilful Fudhul), dan dikenal sebagai hakim yang sangat bijaksana sehingga memperoleh gelar Al-Amin, suatu gelaran yang belum pernah disandang oleh seorang manusia pun di muka bumi selain disandang oleh Muhammad Rasulullah. Jauh sebelum diangkat menjadi Nabi, pribadi agung ini sangat anti kemusyrikan, sangat anti kezaliman, sangat anti diskriminatif, dan sangat anti tradisi-tradisi bobrok jahiliyah.

Dalam Surat 48/Al-Fath ayat 29 ditegaskan:

Muhammad itu adalah Rasulullah; dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang- orang kafir tetapi berkasih-sayang sesama mereka.  Kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.

Sepanjang sejarah, Nabi Muhammad Saw – demikian juga para pengikut setianya – sangat sibuk berjuang mengibarkan panji tauhid dan keadilan di tengah-tengah masyarakat manusia.

Pada siang hari Rasulullah Saw sangat sibuk berda`wah, mengajar Al-Quran dan Al-Hikmah, membersihkan jiwa manusia, berjuang menegakkan kesederajatan umat manusia, membebaskan perbudakan, menghilangkan beban-beban yang diderita umat manusia, beramar ma`ruf nahi munkar, dan berjihad melawan kemusyrikan, kekafiran dan kelaliman manusia.

Adapun pada malam harinya beliau sangat sibuk beribadah, berdzikir, shalat, beristighfar, berdo`a, merenungi nasib umat manusia, dan memikirkan solusi bagi pembebasan derita-derita manusia.

Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa misi dan tujuan utama kenabian – yang sekaligus  sebagai misi dan tujuan utama Islam – adalah mengajak  manusia untuk beriman kepada Allah Yang Esa (sekaligus memberantas kemusyrikan) dan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat (sekaligus memberantas kelaliman).

Bagaimana Cara Nabi Musa As mengajak Kaumnya Untuk Menyembah ALLAH ?

Nabi Musa As pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim As. Sumber kekefiran, kemusyrikan dan kedzaliman saat itu adalah Fir`aun dan kroni-kroninya.

Nabi Musa dalam melaksanakan misi kenabiannya harus berurusan dengan kekuatan kafir dan penindas. Ia bertugas mengajak Bani Israil untuk menyembah Allah Yang Esa, juga membebaskan  mereka dari perbudakan. Fir`aun adalah pemimpin kafir dan tiran yang ditopang oleh kekuatan besar:  Qarun sang konglomerat korup, Haman sang ilmuwan/teknokrat konseptor pemerintahan tiran dan ekonomi korup, dan Bal`am sang Ulama pembelai  rakyat yang pro penguasa tiran.

Dalam menjalankan misinya, Musa harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan itu. Karena beratnya tugas yang harus diembannya, maka ia meminta kepada Tuhannya untuk menjadikan Harun, saudaranya, sebagai Nabi yang dapat meringankan tugasnya. Dengan berbekal keimanan, kesabaran, dan perjuangan hebat, akhimya Musa dapat mengalahkan kekuatan kafir dan lalim itu.



Nabi Musa a.s. dibantu Nabi Harun a.s. berhadapan dengan kekuatan: Fir`aun, Qarun, Haman, dan Bal`am



Peristiwa serupa terjadi pula di zaman Nabi terakhir Muhammad Saw. Ka`bah saat itu menjadi sumber kemusyrikan bangsa Arab. Tidak kurang dari 360 buah patung berdiri kokoh di atas Ka`bah. Tatkala menguasai Makkah, Rasulullah Saw segera memerintahkan pengikutnya untuk menghancurkan seluruh patung yang ada di Ka`bah.

Nabi terakhir, Muhammad, dalam menjalankan kedua misi kenabiannya berhadapan pula dengan kekuatan-kekuatan kafir dan lalim. Selama periode Makkah, Nabi dan umat Islam mendapat perlakuan kejam dari kafir Quraisy. Nabi dilempari  dengan kotoran dan dalaman perut binatang, dijebak terperosok ke dalam lubang yang sudah dipersiapkan,  diteror, diusir, dan berbagai upaya pembunuhan. Embargo ekonomi pun diberlakukan bukan hanya kepada Nabi dan kaum muslimin, bahkan juga kepada Bani Hasyim dan Bani Muthallib (kerabat dekat Nabi). Selama 3 tahun Nabi dan kaum muslimin diembargo di lembah Abu Thalib sehingga banyak di antara pengikut awal Islam yang syahid. Siti Khadijah, istri Nabi yang sangat kaya, ikut menderita juga. Istri yang agung ini pun kemudian syahid beberapa saat setelah berhentinya embargo. Sebagian kaum muslimin awal ini pun  terpaksa mengungsi – berhijrah – di Ethiopia, sebuah negeri Kristen di Aprika tapi rajanya dikenal adil.

Kepada Abu Thalib – yang memelihara dan melindungi Nabi, kafir Quraisy meminta bantuannya agar paman Nabi itu merayu menghentikan da`wah Nabi dengan imbalan Nabi diberikan kekayaan yang melimpah, seluruh wanita pilihan, bahkan hingga  jabatan tertinggi. Tapi Nabi malah menjawabnya: Jangankan itu semua. Sekiranya matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan da`wah dan berjuang hingga tegaknya agama Allah atau aku mati karenanya. Saking frustasinya kafir Quraisy meminta Abu Thalib menyerahkan   Nabi.

Sebagai gantinya paman Nabi itu diberi seorang pemuda ganteng, yang malah membuatnya berang. Jadi, kata  Abu Thalib, kau minta aku menyerahkan anakku untuk kau bunuh dan kau serahkan anakmu untuk aku beri makan? Enyahlah kalian dari sisiku!

Sepeninggal Abu Thalib, kafir Quraisy semakin giat menteror dan berusaha membunuh Nabi, sehingga Nabi pernah mengungsi ke Thaif (sekitar 40 km dari Makkah), yang malah mendapat perlakuan kasar juga (karena dipropokasi kafir Quraisy). Nabi pun akhirnya mengajak kaum muslimin meninggalkan Makkah dan berhijrah ke Madinah.

Setelah Nabi berhasil membina keimanan, kesabaran, dan jiwa juang pengikutnya, dan berhasil  pula menjadikan Madinah sebagai Pusat Islam (Islamic Centre), gempuran dari pihak kafir dan lalim berlangsung tiada henti-hentinya. Puluhan kali Nabi dan umat Islam harus berjuang menghadapi perang yang dipaksakan oleh musuh-musuh Islam. Perang Badar dan Perang Uhud (dengan kafir Makkah), Perang Khandaq (dengan sekutu kafir Makkah-Yahudi), Perang Khaibar (dengan Yahudi Khaibar), dan Perang Mu`tah (dengan kekaisaran Rumawi) merupakan contoh dari peperangan yang dipaksanakan terhadap Nabi dan kaum muslimin.

Tidak berhenti di situ, setelah Nabi menampakkan keberhasilannya memegang  kendali umat, muncullah barisan kaum munafiq sebagai musuh yang lebih berat – karena mereka berada di dalam barisan Islam dan menampakkan diri sebagai pejuang- pejuang Islam, tapi di belakang justru menikam Nabi dan merusak ajaran Islam.

Bagaimana Cara Nabi Ibrahim As mengajak Kaumnya Untuk Menyembah ALLAH ?

Nabi Ibrahim As mengajak kaumnya untuk menyembah Allah Yang Esa, seraya menjelaskan Keagungan Allah. Pemimpin kaum yang kafir (Raja Namrud) malah menentangnya dengan minta ditunjukkan apa saja kebesaran Allah itu. Ibrahim As menyebutkan bahwa Tuhannya bisa menghidupkan dan mematikan.

Pemuka kaum yang durhaka lalu menjawab dengan sombongnya, bahwa ia pun mampu menghidupkan dan mematikan. Ia lalu mengambil dua orang hamba sahaya, kemudian membunuh salah seorang di antara keduanya dan membiarkan hidup yang lainnya. Sampai di sini seolah-olah Ibrahim kalah debat. Sang  Nabi  kemudian  menggunakan  logika  yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh siapa pun selain Allah (dan orang yang dikehendaki oleh Allah). Ibrahim menyebutkan, bahwa Tuhannya menjalankan matahari (yang terlihat di bumi) dari arah timur ke arah barat; lalu menantang pemuka kafir itu agar memindahkan arah peredaran matahari dari arah barat ke arah timur. Tentu saja Raja Namrud tidak bisa melaksanakannya. Ia benar- benar tidak berdaya di hadapan Ibrahim dan kaumnya.

Tatkala kaumnya tidak mengindahkan seruannya, sekalipun argumentasi yang jitu telah dilontarkan dan telah mengalahkan mereka, Ibrahim lalu menggunakan argumentasi lain. Sejalan dengan tradisi bahwa pada saat itu orang-orang menyembah patung-patung.

Tatkala hari raya tiba keluarlah semua orang dari kota, sementara Ibrahim tinggal sendirian. Kesempatan ini digunakan Ibrahim untuk menghancurkan patung- patung - sebagai simbol kemusyrikan saat itu – dengan kapaknya. Sebuah patung paling besar dibiarkannya. Di leher patung itu dikalungkan kapak. Maksudnya agar semua orang yang meninggalkan kota mengambil kesimpulan, bahwa telah terjadi pertengkaran hebat di antara patung-patung, lantas masing-masing mereka berkata dalam dirinya bahwa patung yang terbesar itulah yang paling kuat. Tetapi yakin akan naluri manusia yang condong kepada yang benar, masing-masing mereka akan berkata pula bahwa tidak mungkin patung yang tidak bisa bergerak itu yang melakukannya. Hal ini akan membuat mereka tidak menerima persoalan ini lalu bergerak untuk berpikir ke arah yang benar.

Ketika orang-orang kembali ke kota dan menyaksikan apa yang terjadi dengan patung-patung (yang telah dihancurkan Ibrahim), mereka pun marah dan dengan penuh kebencian segera mencari orang yang diduga melakukan penghancuran itu. Tapi siapakah pelakunya? Tiba-tiba saja mereka teringat bahwa ada seorang pemuda yang selalu menantang tradisi mereka. Maka segeralah mereka mencari Ibrahim. Dengan logika yang sudah dipersiapkannya, Ibrahim lalu (seolah-olah) mengelak: mengapa aku yang kalian tuduh? Mengapa tidak patung yang besar itulah yang kalian salahkan?

Orang banyak pun menjawab dengan penuh sinis: Mana mungkin patung yang tidak bisa berpindah itu dapat melakukannya? Jawaban inilah yang justru ditunggu-tunggu Ibrahim untuk meluruskan logika mereka. Mendengar pernyataan kaumnya itu Ibrahim segera berkata: "Masa patung besar saja tidak bisa melakukan seperti itu, padahal kalian menganggap bahwa ia bisa menuhi kebutuhan kalian!" Nabi Ibrahim AS berhasil meluruskan logika kaum kafir. Sebagian kecil mereka beriman tapi sebagian besar lainnya tetap saja kafir.

Tujuan Dan Misi Dalam Agama Islam

Tauhid & Keadilan sbg Misi Agama Islam

Misi agama Islam dapat kita lihat dari misi kenabian. Syaikh Murtadha Muthahhari dengan bagusnya mengajukan sejumlah pertanyaan berikut:

(1)       ke arah manakah tujuan jalan yang benar menurut perspektif para nabi?
(2)  di manakah letak kebahagiaan manusia dan masyarakat dalam perspektif  para   nabi?
(2)      perbudakan macam apakah dalam perspektif para nabi yang ingin dibebaskan?
(3)      berdasarkan aliran pemikiran ini pula, di manakah letak kebahagiaan dan keselamatan akhir manusia? Dan
(4)      apa tujuan utama dari misi kenabian itu?

Semua permasalahan  ini – menurut  Muthahhari

– telah disitir dalam Al-Quran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tetapi dua konsep telah secara khusus ditunjuk sebagai yang sebenarnya dari misi para nabi. Kedua konsep tersebut adalah: Pertama, ber-tauhid, yakni mengimani Allah Yang Maha Esa serta mendekatkan diri kepada-Nya; dan kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia. Semua ajaran para nabi merupakan semacam perkenalan kepada kedua misi utama ini.

Dalam sural Al-Ahzab/33 ayat 45-46 disebutkan: Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira, dan pemberi pengingatan; dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.

Kedua ayat di atas merujuk kepada misi pertama kenabian (misi tauhid). Di antara semua aspek yang disebutkan   dalam   kedua   ayat   ini   nyatalah   bahwa "mengajak kepada Allah" merupakan tujuan utama dari misi kenabian.

Di lain pihak, berkaitan dengan semua nabi, surat Al-Hadid/57: 25 mengungkapkan:

Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.

Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa menegakkan keadilan adalah tujuan utama kenabian dan misi kenabian. Dengan demikian terdapat dua tujuan utama dari misi kenabian, yaitu: 
  1. mengajak manusia untuk menyembah Allah Yang Esa, serta sekaligus memberantas kemusyrikan
  2. menegakkan keadilan dan kesederajatan umat manusia, sekaligus memberantas kelaliman dan diskriminatif.

Alasan Para Nabi Dan Rasul Diberi Mu'jizat

Tujuan mu`jizat


Orang-orang musyrik mengira bahwa kekuasaan  untuk menghasilkan mu`jizat berada di tangan nabi hingga beliau bisa menghasilkan mu`jizat kapan saja, dan untuk tujuan apa saja. Itulah sebabnya mengapa mereka meminta diterbitkannya mata air, dibanngunkannya rumah dari emas, dan ramalan tentang harga pasar di kemudian hari.

Akan tetapi sebuah mu`jizat adalah seperti wahyu itu sendiri, bergantung pada Allah bukan pada keinginan nabi. Ia adalah suatu proses pihak lain yang mempengaruhi kehendak nabi dan dikerjakan oleh beliau. Ia berarti bahwa wahyu terjadi dengan izin Allah sebagaimana halnya sebuah mu`jizat, dan itulah arti dari Qs. 29/Al-Ankabut ayat 50. Ayat dan mu`jizat ada di tangan Allah. "Aku hanyalah pemberi peringatan", kata Nabi Saw.

Hal yang sama juga berlaku untuk pengetahuan mengenai hal yang gaib sebagai mu`jizat. Sejauh menyangkut karakter Nabi, beliau tidaklah tahu hal yang gaib. "Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa aku adalah seorang malaikat, dan aku juga tidak mengetahui hal-hat yang gaib" (Qs Al-An`am/6: 50). Tetapi manakala beliau sedang berada di bawah pengaruh yang gaib, maka beliau bisa berbicara tentang rahasia-rahasia yang tersembunyi; dan apabila ditanya bagaimana beliau bisa tahu hal itu, maka beliau akan menjawab "Tuhan Yang Maha Tahu memberi tahu aku."

Ketika Nabi mengatakan, "Aku tidak mengetahui hal-hal yang gaib dan seandainya aku mengetahuinya, tentu aku telah memperoleh banyak uang." (Qs Al-A`raf/7:188). Itu adalah karena beliau ingin mengalahkan logika orang-orang musyrik dengan mengatakan bahwa pengetahuan beliau mengenai hal- hal yang gaib adalah dalam batas-batas sebuah mu`jizat dan untuk suatu tujuan tertentu melalui wahyu Tuhan.

Seandainya pengetahuan mengenai hal-hal yang gaib merupakan persoalan pribadi yang dapat digunakan untuk tujuan apa saja, dan seandainya pengetahuan tersebut adalah suatu alat untuk memperoleh kekayaan, maka alih-alih memberitahukan   harga-harga   agar   mereka   menjadi kaya, tentulah beliau (Nabi) telah mencari kekayaan untuk diri beliau sendiri, untuk kepentingan da`wah, amar ma`ruf nahi munkar, dan jihad.

Dalam ayat yang lain Al-Quran mengatakan, "Tuhan Maha Mengetahui apa-apa yang tersembunyi. Dia tidak akan  memberi tahu siapa pun tentang rahasia-rahasia-Nya kecuali kepada seorang rasul yang diridhai-Nya" (Qs Al-Jinn/72: 26-27).

Secara pasti, Nabi Muhammad Saw adalah salah seorang rasul yang diridhai-Nya. Di samping itu, Al-Quran juga menyitir perihal mu`jizat-mu`jizat para nabi dalam berbagai ayat, seperti mu`jizat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa `alaihimussalam.


“Mu`jizat adalah salah satu bukti kenabian dan selalu menyertai kenabian !”

Mu`jizat Rasulullah Saw selain Al-Quran

Mu`jizat Rasulullah Saw selain Al-Quran
Tentu saja pandangan mereka itu keliru, karena Nabi Muhammad Saw pun memiliki sejumlah mu`jizat selain Al- Quran.
Berubahnya makanan sedikit menjadi banyak di musim kelaparan dan terbelahnya bulan sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Qamar/54:1 adalah mu`jizat Nabi Terakhir selain Al-Quran. Isra` dan Mi`raj Nabi  juga termasuk mu`jizat? Surat Al-Isra'/17: 3 secara eksplisit mengatakan:
Maha Suci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid Al-Haram keMasjid Al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.

Apakah ini bukan suatu peristiwa supranatural? Apakah ini bukan suatu mu`jizat? Demikian pula cerita tentang Nabi mempercayakan suatu rahasia kepada salah seorang istrinya, lalu istrinya itu membocorkan rahasia Nabi kepada salah seorang istrinya yang lain. Nabi bertanya pada istrinya itu, mengapa ia membocorkan rahasia kepada istrinya yang   lain?   Istrinya   bertanya   dengan   penuh   keheranan, bagaimana Nabi bisa tahu apa yang dipercakapkan oleh  kedua istri Nabi itu? Nabi menjawab, bahwa Allah-lah yang memberitahunya. Apakah ini bukan mu`jizat?
Adapun kasus permintaan mu`jizat dalam surat Al- Isra/17:90-93 bukan sebagai kasus sekelompok orang yang benar-benar meragukan kenabian dan menginginkan tanda- tanda dan bukti-buktinya. Ayat-ayat ini dan juga ayat 50 surat Al-`Ankabut menjelaskan logika khusus orang-orang musyrik dalam meminta mu`jizat-mu`jizat tersebut, dan logika khusus Al-Quran mengenai filsafat yang mendasari mu`jizat-mu`jizat para nabi.
Syaikh Murtadha Muthahhari dengan bagusnya menguraikan Qs Al-Isra/17: 90-93. Orang-orang musyrik mulai dengan kata-kata berikut:

"... kami tidak akan beriman kepadamu ..." Ini adalah logika orang musyrik dalam meminta mu`jizat.  Dengan kalimat lain, orang-orang musyrik itu berkata kepada Nabi:

"Kami tidak akan beriman atas kenabianmu dan tidak akan masuk ke dalam kelompokmu demi keuntunganmu, kecuali jika engkau, demi keuntungan kami, menjadikan mata air menyembur dari tanah Makkah yang tandus; atau engkau menjadikan sungai-sungai yang mengalir di dalam sebuah kebun yang penuh pohon-pohonan; atau engkau membangun sebuah rumah yang penuh dengan emas; atau engkau menjatuhkan sepotong langit ke atas kami, seperti yang engkau katakan akan terjadi pada hari kiamat; atau engkau undang Tuhan dan para malaikat; atau engkau naik ke langit dan membawa turun sepucuk surat yang dialamatkan kepada kami. "


Coba perhatikan dengan saksama logika orang-orang kafir tentang mu`jizat. Mereka meminta kepada Nabi untuk memancarkan air di tanah Makkah yang tandus. Ini adalah tawar menawar. Begitu juga permintaan dijadikannya sungai, kebun,  dan  rumah  emas,  merupakan  tawar  menawar agar mereka dapat menikmatinya. Sedangkan permintaan dijatuhkannya sepotong langit adalah permintaan siksaan, kematian, dan akhir segalanya, yang tentunya bukan hanya akan menimpa mereka, tapi juga akan menimpa seluruh orang yang beriman, yang tentunya tidak  mungkin permintaan seperti itu akan dikabulkan.
Adapun permintaan mengenai undangan untuk bercakap-cakap dengan Allah atau malaikat, atau diturunkannya sepucuk surat dari Allah kepada mereka, adalah permintaan akan kehormatan dan kebanggaan. Kasus permintaan mu`jizat dalam ayat-ayat ini adalah minta keuntungan harta dan kedudukan, bukannya permintaan mengenai bukti kebenaran. Tentu saja permintaan demikian tidak perlu dikabulkan.
Orang-orang musyrik, lanjut Muthahhari, tidak mengatakan: "Kami tidak akan beriman kepadamu kecuali jika kamu memperlihatkan sebuah mu`jizat khusus"; akan tetapi mereka mengatakan: "Kami tidak akan masuk ke dalam kelompokmu demi keuntunganmu". Jelas, pernyataan mereka ini adalah pernyataan jual beli pendapat atau dukungan; padahal Nabi tidak butuh suara.
Terdapat perbedaan antara "beriman dengan tulus" dan "menyerah". Para ulama Ushul Fiqh telah mengutip persoalan pelik yang sama mengenai Nabi dalam surat Al- Taubat/9:61):
"... Yang beriman kepada Allah dan tulus kepada orang- orang yang beriman". Lebih jauh tuntutan orang-orang musyrik tersebut dimulai dengan  kata-kata: "Jadikanlah mata air yang menyembur dari dalam tanah demi keuntungan kami". Ini jelas merupakan permintaan anugerah, bukan permintaan akan bukti dan mu`jizat. Nabi datang untuk mendakwahi orang- orang yang benar-benar mau beriman, bukan untuk membeli suara dan opini mereka dengan imbalan sebuah mu`jizat.