Bukankah setiap
ajaran Islam itu baik?
Tentu, tengantung
konteksnya juga. Jika konteksnya tampak jelas kontras antara yang ritual dan
sosial, tentu masing-masing kita akan memberikan jawaban yang sama.
Pandangan tentang hal berikut pun pasti sama. Setiap ajaran
Islam adalah baik. Shalat sunat, puasa sunat, haji yang kedua kalinya,
menghidupkan malam dengan shalat tahajud, duduk berlama-lama di masjid untuk
ber-i`tikaf, memperindah bangunan masjid, dan membaca Al- Quran tanpa memahami
isinya sekalipun adalah baik. Demikian juga menuntun anak kecil atau
orang tua menyebrang di jalan raya, memberikan uang kepada pengamen dan
pengemis, mentraktir jajan kawan-kawan, memberi hadiah kepada karib-kerabat
yang berprestasi, dan mengunjungi
keluarga yang jauh untuk mempererat tali
silaturahim adalah baik. Mengambil duri di jalan dan membuangnya ke
tempat sampah adalah baik, menebarkan senyum baik, mengucapkan
salam juga baik, dan menyapa orang yang kita kenal di tempat asing
adalah baik.
Menghindari dan mencegah
larangan-larangan Islam pun adalah baik. Menghindari hal-hal yang makruh
adalah baik, terlebih-lebih lagi menghindari larangan yang haram. Mencegah
korupsi adalah baik, Menghindari lelaki iseng atau wanita nakal adalah baik.
Menghindari rokok pun adalah baik.
Dengan kata lain,
menyangkut ajaran per-ajaran, seluruh ajaran Islam itu memang baik.
Pandangan tentang ini pasti sama:
a. shalat sunat itu baik
b. haji berkali- kali baik
c. menebar senyum baik
"Jadi, menyangkut ajaran per-ajaran, seluruh ajaran Islam itu baik."
Amal mana yang harus dipilih?
Tapi ketika kita harus melakukan salah satu amal di antara dua amal yang baik-baik itu,amalmanakah yang lebih utama? Malah, amal manakah yang harus dipilih dan amal mana pula yang harus diundurkan atau malah ditinggalkan? Untuk menjawab pertanyaan ini relatif lebih sulit,
karena diperlukan pengetahuan teknis tentang amal- amal yang lebih utama; atau
malah kadang-kadang sangat sulit, karena diperlukan pemahaman yang utuh tentang misi dan tujuan umum agama Islam.
Terhadap pertanyaan berikut mungkin masing- masing kita
memberikan jawaban yang berbeda. Misalnya, kita punya uang yang cukup untuk
ongkos haji tapi ingin memilih amal yang diridhai Allah Ta`ala, amal manakah
yang harus dipilih: mengerjakan ibadah haji untuk kedua kalinya ataukah
menginfaqkan uang tersebut sebagai beasiswa bagi seorang ustadz untuk mendalami
agama?
Pertanyaan serupa, jika punya
uang yang cukup dan mau beramal yang lebih utama, amal manakah yang harus
dipilih: memperindah bangunan masjid atau menginfaqkannya untuk kesejahteraan
ustadz-ustadz miskin yang memakmurkan
masjid itu?
Si-A mungkin memilih berhaji untuk kedua kalinya, sedangkan
si-B memilih menginfaqkan hartanya sebagai beasiswa bagi seorang ustadz untuk
mendalami ilmu agama; Si-A mungkin memilih memperindah bangunan masjid,
sedangkan Si-B menginfaqkannya untuk kesejahteraan para ustadz miskin yang
memakmurkan masjid.
Pertanyaannya, mengapa terhadap persoalan kedua (memilih amal
yang lebih utama) bisa berbeda-beda? Nah, di sini memang tidak mudah untuk
menjawabnya. Diperlukan seperangkat pengetahuan dan wawasan tentang agama kita,
agama apa Islam itu? Apakah Islam itu agama ritual (ibadah khusus, seperti
shalat, puasa, dan haji. Ini pun
sebenarnya kaya dengan dimensi sosial) ataukah
agama sosial (menegakkan keadilan dan kesederajatan umat manusia,
seperti memberikan beasiswa bagi para pelajar dan bantuan modal bagi
fakir-miskin), ataukah Islam itu agama ritual sekaligus agama sosial?
Jawaban yang paling
mudah adalah yang terakhir, bahwa Islam adalah agama ritual sekaligus agama
sosial. Jawaban ini – tanpa konteks – adalah benar. Tetapi dalam konteks tertentu ketika harus memilih salah satu amal yang
lebih utama, yang satu ritual dan yang lainnya sosial, apakah kita harus
memilih amal ritual ataukah amal sosial?
Amal mana yang lebih
utama ?
Misal, ketika pergi jum`atan ada anak yang jatuh ke sumur dan
tidak ada orang lain selain kita, amal manakah yang harus dipilih: jum`atan
ataukah menolong anak? Tentu, terlebih dahulu kita ingin mengamalkan kedua-
duanya. Kita selamatkan anak terlebih dahulu, kemudian pergi jum`atan, walau
hanya kebagian shalatnya saja. Tapi jika kita menolong anak itu tidak cukup
waktu untuk jum`atan dan jika kita jum`atan terlebih dahulu mungkin anak itu
sudah mati, amal manakah yang harus kita pilih? Pertanyaan seperti ini akan
dijawab secara sama, karena sangat jelas. Bahkan orang yang paling awam se alam
dunia pun akan memberikan jawaban yang sama. Kita harus menyelamatkan nyawa
anak, baru kemudian shalat dzuhur (tidak jum`atan).
Demikian juga seorang dokter yang sedang melakukan
operasi-canggih terhadap seorang pasien yang harus segera dioperasi, apakah ia
harus mengerjakan shalat shubuh terlebih dahulu dan menghentikan operasinya
ataukah terus menyelesaikan operasinya tanpa diselingi shalat shubuh, jika
operasi itu dilakukan menjelang shubuh hingga terbit matahari?
Terhadap pertanyaan ini pun akan dijawab sama, dokter itu
harus terus menyelesaikan operasinya tanpa diselingi shalat shubuh, dan
mengerjakan shalat shubuh di luar waktu (setelah selesai dari tugasnya).
Kesamaan jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu (menolong anak yang jatuh ke sumur
atau terus menyelesaikan operasi terhadap pasien) selain karena banyaknya dalil
agama dan pertimbangan akal
akan pentingnya menyelamatkan nyawa manusia, juga ada kaidah ushul fiqih yang sangat populer: La yutrakul wajibu illa li wajibin (Tidak
ditinggalkan suatu kewajiban kecuali untuk mengerjakan kewajiban yang lebih
wajib). Shalat Jumat wajib dan menolong anak yang jatuh ke sumur pun wajib.
Tapi menolong anak yang jatuh ke sumur
lebih wajib daripada Shalat Jumat, karena Shalat Jumat bisa diganti
dengan shalat dzuhur. Demikian juga menyelamatkan pasien bagi seorang dokter
lebih wajib daripada shalat shubuh pada waktunya, karena shalat shubuh – dalam
keadaan darurat seperti itu – bisa dikerjakan di luar waktu. (Terlebih-lebih
lagi bagi Mazhab Islam yang membenarkan qadha dalam shalat, persoalan-
persoalan semacam itu tidak memerlukan pemikiran yang mendalam).
Tapi, amal mana yang lebih utama:
1. Haji kedua kalinya atau
memberi beasiswa seorang ustadz untuk mendalami ilmu agama?
2. Memperindah bangunan masjid atau infaq kepada
ustadz miskin?
Pasti jawabannya berbeda-beda !
Amal mana yang lebih utama:
Menunaikan
shalat jum`at atau menolong anak yang jatuh ke sumur?
Pertanyaan tersebut
akan menghasilkan jawaban yang sama
!
"Memilih
amal yang lebih utama (diridhai Allah Ta`ala) memerlukan pengetahuan dan
wawasan tentang Islam secara memadai, selain tentunya diniati untuk taqarrub ilallah"
No comments:
Post a Comment