Apa Adil itu?
Khutbah Jum`at seringkali ditutup dengan
ayat Al-Quran berikut: Innallaha ya`muru
bil-`adli wal-ihsan,
…",
artinya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan
(kebajikan), …" (Qs. An- Nahl/16: 90).
Tradisi menutup Khutbah Jum`at dengan ayat suci tersebut
dimulai oleh Khalifah Bani Umaiyah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz. Sebelumnya
Khutbah Jum`at selalu ditutup dengan kata-kata kutukan terhadap Ali bin Abi Thalib k.w. dan para
pembelanya sebagai lawan politik Bani Umaiyah. Khalifah saleh inilah yang
membuang kata-kata kutukan itu dan menggantikannya dengan ayat suci Al-Quran
surat An- Nahl ayat 90 tersebut. (Semoga Allah ridha kepada Umar bin Abdul Aziz).
Adil dan Ihsan
Dua istilah ini (adil dan ihsan) mendominasi kajian teologi dan ilmu kalam dibanding
istilah-istilah lain yang memiliki makna hampir serupa. Apa bedanya adil dengan
ihsan? Juga apa bedanya dengan al-jud, itsar, dan inshaf? Perbuatan mana yang
lebih utama, berlaku adil atau berbuat ihsan?
Dalam Bahasa Arab dan Al-Quran ada beberapa kata yang bermakna berbuat kebaikan,
yakni: al-jud, itsar, inshaf, dan ihsan. Al-Jud adalah berbuat baik dalam wujud material, seperti mentraktir
kawan-kawan. Itsar adalah
mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri, hampir serupa dengan makna altruisme dalam etika Barat, seperti
memberi minum orang yang kehausan padahal dirinya pun sedang haus. Dalam
sejarah Islam, kesediaan Ali bin Abi Thalib k.w. untuk menempati tempat tidur Nabi
ketika Nabi Saw dalam ancaman pembunuhan kafir-kafir Quraisy menjelang
keberangkatan berhijrah ke Madinah
merupakan contoh itsar yang
paling populer.
Inshaf adalah
pengakuan salah, khilaf, atau keliru dari orang yang memiliki otoritas atau
senior yang mungkin saja dapat menurunkan kewibawaannya; padahal tanpa
pengakuan demikian pun orang-orang tidak akan mengetahui kesalahan, kekhilafan
atau kekeliruannya. Misalnya, seorang dokter spesialis yang senior memberikan
resep tertentu kepada pasiennya. Karena belum sembuh, pasien itu datang lagi ke
dokter yang bersangkutan. Kebetulan sang dokter senior tidak ada. Karena ingin
segera berobat pasien itu mendatangi dokter lain yang kebetulan masih yunior.
Sang dokter muda memberitahukan bahwa obat yang sudah dimakannya kurang tepat.
Ia pun kemudian memberikan resep yang
berbeda dengan yang diberikan dokter senior. Selang beberapa hari kemudian
pasien mendatangi dokter senior dan memberitahukan apa yang dilakukan dokter yunior. Sang dokter
spesialis senior kemudian menganalisis resep yang diberikannya dan diberikan
dokter muda. Dalam hatinya ia membenarkan bahwa resep dari dokter muda itulah
yang tepat. Jika ia berakhlak baik, maka ia akan mengakui kekhilafannya dan
meminta maaf kepada pasiennya karena telah memberikan resep yang keliru. Inilah
tindakan inshaf.
Adapun
ihsan adalah berbuat baik yang lebih
umum, bisa berbentuk material maupun non-material, misalnya: memberi bantuan
beasiswa kepada santri potensial, mengajar baca-tulis Al-Quran kepada kaum
muslimin yang belum bisa membaca dan menulis Al- Quran, . Al-jud dan itsar sebenarnya
merupakan bagian dari ihsan;
sementara inshaf sejenis ihsan.
Adil = memberikan hak kepada orang yang berhak
menerimanya
Ihsan = memberikan hak kita kepada orang lain
Contoh
adil:
Kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib
k.w.sangat terkenal. Kata beliau, adil adalah "Wad`u syai-in fi mahalihi" (menempatkan sesuatu pada
tempatnya); sedangkan ihsan (termasuk al-Jud dan itsar) adalah
"mengeluarkan sesuatu dari tempatnya".
Atau, dengan kata lain, adil adalah "memberikan hak kepada orang yang
berhak menerimanya" sedangkan ihsan adalah "memberikan hak kita
kepada orang lain (yang tidak mempunyai hak)".
Contoh perbuatan adil: Kita mendapat amanah
untuk membagikan sejumlah uang (misalnya, Rp. 100 juta) kepada seluruh orang
miskin di suatu desa. Artinya, uang itu
bukan milik kita, melainkan milik seluruh orang-orang miskin di suatu desa.
Ketika kita membagikan uang yang Rp. 100 juta itu kepada orang- orang yang
berhak menerimanya (yaitu seluruh orang miskin di suatu desa itu), berarti kita
telah berbuat adil.
Sebaliknya, bila uang itu kita tahan-tahan,
atau uang itu kita bagikan sebagian dan yang sebagiannya kita tahan, berarti
kita telah berbuat zalim – karena kita menahan harta yang menjadi milik
orang lain. Demikian juga jika kita
membagikan uang yang Rp. 100 juta itu, tapi bukan kepada orang-orang miskin,
itu pun merupakan perbuatan zalim; karena yang berhak atas sejumlah uang
itu adalah seluruh orang-orang miskin di suatu desa itu.
Jadi,
berbuat adil itu suatu kewajiban (sebagai misi agama Islam),
karena jika tidak melakukan keadilan berarti berbuat zalim, yang justru
merusak misi Islam
Contoh
ihsan :
Adapun berbuat kebajikan (al-Jud, itsar, ihsan) tidak memiliki
kebalikannya. Kalaupun dipaksanakan dibuat kebalikannya, satu-satunya kata yang
tepat dari kebalikan berbuat kebajikan adalah "tidak" berbuat
kebajikan. Tapi tidak
berbuat kebajikan tidak mengandung konotasi negatif
seperti dalam kata zalim. Oleh karena itulah pelaku kebajikan mendapat
kedudukan terhormat, karena ia mengerjakan suatu kebajikan yang tidak
diwajibkannya.
Contoh
berbuat kebajikan, seorang yang berkecukupan telah membayar zakat dan segala
kewajiban agama. Artinya, orang itu telah memenuhi kewajiban-kewajiban agama.
Ia mempunyai sejumlah uang tabungan, misalnya Rp. 10 juta. Sebagian uang itu,
misalnya Rp. 5 juta, akan diinfaqkan sebagai beasiswa. Kepada siapa beasiswa
itu akan diberikan, apakah kepada siswa SMP yang miskin, kepada siswa SMA yang berprestasi, atau kepada dosen yang
sedang studi di S3, hal itu terserah dia. Dia bebas memberikannya kepada siapa
saja. Malah jika tidak menginfaqkannya pun tidaklah berdosa, karena
ia telah membayar zakat dan seluruh kewajiban agama. Hanya saja, jika ia melakukannya (misal: memberi
beasiswa, atau apa pun bentuknya) berarti ia telah berbuat ihsan (kebajikan)
yang tentunya mendapat pahala besar dari Allah SWT. Tapi, kalau ia tidak
melakukannya, maka ia tidak berdosa dan tidak pula memperoleh pahala.
Mana yang lebih utama: Adil atau Ihsan?
Pertanyaan kedua yang harus dijawab adalah,
manakah di antara kedua perbuatan tersebut yang lebih utama, berlaku adil atau
berbuat kebajikan?
Jawabnya, tergantung dari perspektif mana perbuatan
itu dilakukan.
Dari
perspektif pribadi, tentu berbuat kebajikan (ihsan) merupakan perbuatan utama. Tapi dari persepektif sosial,
berlaku adil adalah perbuatan yang utama, karena kalau tidak melakukannya
berarti berbuat zalim. Artinya, bagi individu-individu kaum muslimin adalah
sangat utama jika ia melakukan kebajikan. Tapi bagi seorang
pemimpin atau orang
yang diserahi
amanah, maka berbuat adil bukan saja merupakan
perbuatan utama melainkan justru merupakan kewajibannya. Para pemimpin dan
orang yang diserahi amanah mengurusi masyarakat wajib berbuat adil dan
menegakkan keadilan.
Contoh: seorang Kepala Dinas Sosial di suatu
kabupaten/kota akan membagikan RASKIN (beras
bagi orang miskin). Ia berlaku adil jika ia membagikan RASKIN itu kepada seluruh orang miskin secara
merata di kabupaten/kota yang dipimpinnya. Bila RASKIN-nya terbatas, ia
terlebih dahulu membuat beberapa peringkat miskin; dan peringkat miskin yang
paling bawah itulah yang diprioritaskan. Tapi ia berlaku zalim jika RASKIN itu hanya dibagikan di
desa/kecamatan tempat ia tinggal, atau tidak diberikan kepada fakir-miskin,
atau hanya sebagiannya saja yang dibagikan sedangkan selebihnya ia ambil.
Ia – di hadapan Allah SWT – tidak punya dalih,
misalnya sebagian RASKIN itu (katakanlah 10% atau 5%) sebagai upah bagi
dirinya, karena ia diangkat pada posisi itu sudah mendapatkan gaji yang
setimpal. Tentu, kalau ukurannya cukup sampai berapa pun tidak akan cukup,
karena sangat condongnya manusia terhadap harta; dan harta itu – berapa pun
banyaknya – tidak akan kenyang-kenyang. Dalam Al-Quran disebutkan:

`Adiyat/100: 6-8)

Pertanyaannya sekarang, bisakah Kepala Dinas
Sosial itu tidak melaksanakan keadilan, melainkan berbuat ihsan, misalnya
membagikan uang RASKIN itu kepada karib-kerabat dan kolega-koleganya? Atau,
2/3- nya kepada fakir-miskin dan 1/3-nya kepada karib- kerabat dan
kolega-koleganya? Atau, 1/3-nya kepada fakir-miskin di seluruh kota/kabupaten,
1/3-nya lagi kepada fakir-miskin di desa/kecamatan tempat ia tinggal (sehingga ia akan sangat populer
di desa/kecamatan tempat tinggalnya), dan 1/3-nya lagi untuk karib-kerabat dan
kolega-koleganya (sehingga ia sangat dicintai karib-kerabat dan
kolega-koleganya)?
Dalam pandangan Islam tidak bisa, karena ia
bukan seorang individu biasa atau seorang pejabat di tengah-tengah
karib-kerabat dan kolega-koleganya, dan bukan pula seorang pejabat di suatu
desa/kecamatan, melainkan ia seorang pejabat di suatu kota/kabupaten. Dengan
melakukan hal demikian berarti ia zalim.
Seorang Kepala Dinas Sosial
tersebut bisa disebut berbuat kebajikan jika
ia menggunakan uang pribadinya – seluruhnya atau sebagian – kepada
karib- kerabat atau kolega-koleganya. Dalam kondisi demikian, ia tidak harus berbuat adil, karena
di sini bukan wilayah keadilan. Ia boleh memberikan uang pribadinya itu kepada
siapa saja dari kalangan karib- kerabat atau kolega-koleganya. Dan dalam
konteks pribadi ini, dia telah berbuat kebajikan.
insight yang sangat mencerahkan, Terima kasih banyak. Jazakumullah Khairan Katsiran.
ReplyDelete